Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang
berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau dapat juga disebut common sense).
Ilmu pengetahuan itu
berbeda dengan pengetahuan.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti
mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula
membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu
kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari
Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan
dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang
spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan mempelajari filsafat
ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita
dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain.
Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara
interdisipliner. Sebelum membahas ilmu pengetahuan dan
perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan dikemukakan sedikit
tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan
Ilmu Pengetahuan
Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting, karena
dengan mempelajari hal tersebut kita dapat mengetahui tahap-tahap
perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja, tetapi
melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
1. Periode
Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan
“Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena
peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai
abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya
pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke
analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan
bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan
perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional,
sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam
persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis,
mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar
(eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari
faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan
argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis
rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat
dikatakan ilmiah.
Pada periode
ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia
adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum
Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan
dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut
Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki substansi-substansi.
Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri.
Setiap substansi mempunyai struktur ontologis.
Dalam struktur terdapat 2
prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan
prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi: menunjukkan prinsip kemampuannya,
kemungkinannya (relatif). Setiap benda sempurna dalam dirinya dan mempunyai
kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan lain. Perubahan terjadi bila potensi
berubah, dan perubahan tersebut direalisasikan.
Pandangan
Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu
pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles
terdapat dua macam pengenalan,
yaitu: (1)
pengenalan inderawi; (2) pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan
inderawi memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda.
Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan
abstraksi.
2) Hal Metode
Selanjutnya,
menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang
prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta.
Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasoning). Menurut
Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti mengembangkan
prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada
akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode. Selanjutnya,
menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua,
yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum
(pengetahuan universal); (2) deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan
universal menuju fakta-fakta.
2. Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada periode yang
kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan total
dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles
cara berpikirnya bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada
awal abad 17 sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan
dalam bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah
Aristoteles adalah berpikir tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang
berada di balik yang nampak atau apa yang berada di balik fenomena).
Abad 17
meninggalkan cara berpikir metafisi dan beralih ke elemen-elemen yang terdapat
pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian bukan
substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara berpikir
abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro,
mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji coba secara empiris, sehingga
memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk itu harus membuat
eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis dan pendekatan
eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu pengetahuan
bersifat ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak pada
prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly and
distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak lain berpihak
pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat dari pandangan Rene
Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum,
yang artinya karena aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah
sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Suatu yang pasti
adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu
bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan rasio (dalam Hadiwijono,
1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga, hidung, dan
lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur, karena ini sama dengan
pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita
harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal
pemikiran yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui keragu-raguan.
Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di samping materi.
Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan pihak lain
berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808).
Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap
fakta, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Agar
dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal
pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur
apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala
pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti
unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik
rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan
bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur
apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu
Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman,
tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan
Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang
bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan
Aristoteles, namun dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut,
kiranya cukup untuk menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat
beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah penguasaan
lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan
dan
teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang
dunia material.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan
tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah definisi
eksperimental.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan
tidak hanya hasil/metode eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan,
wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini tidak memberikan tali pengikat
yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen dan hasil pengamatan (Ziman J.
dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat sampai pada
kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi
mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum berdasarkan
berbagai hasil pengamatan. Definisi ini memberikan tempat adanya hipotesa,
sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga
mengakui pentingnya pemikiran spekulatif atau metafisik selama ada kesesuaian
dengan hasil pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak bersifat hitam atau
putih. Definisi ini tidak memberi tempat pada pengujian pengamatan dengan
penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang
disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis
berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut
hanya merupakan akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap
belum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf
pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari hasil
pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori yang
memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli lain
dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini berarti
terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap kerangka konseptual
yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah dilakukan penelitian akan
percobaan terhadap kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan
pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang
bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat statis
ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan alam
semesta di mana kita hidup. Ini berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai
pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang bersifat dinamis ekstrim
menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya
kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu
laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu
pengetahuan akan hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut
ditutup.
Ilmu
pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat
dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau
dalil yang berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut,
atau dengan kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru.
Oleh
karena itu, ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu
pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling
berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang
bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Pengertian percobaan di sini adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka
konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara)
atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya
John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna
manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru
atau juga penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu
hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian
ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai
penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang bersinambungan (Ziman
J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita
analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di
atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga
menghasilkan penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan
seterusnya – berlangsung tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak
menekankan penerapannya? Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang
hanya menekankan pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam
semesta dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu
pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu
akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi
pada penerapannya melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru
atau penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli
fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan
ilmu pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense). Selanjutnya untuk
membedakan hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang
menyatakan hasil akal sehat adalah sistem perseptual, sedang hasil ilmu
pengetahuan adalah sistem konseptual (Conant J. B. dalam Qadir C. A., 1995).
Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau mengembangkan ilmu pengetahuan?
Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan
dilakukan dengan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu
dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan
perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal
sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan
eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan
merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima
sebagai masalah untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk
teori baru.
Sedangkan
Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu
pengetahuan (science).
Perbedaan
tersebut adalah sebagai berikut:
Dalam common sense informasi tentang suatu fakta jarang
disertai penjelasan tentang mengapa dan bagaimana. Common sense tidak melakukan
pengujian kritis hubungan sebab-akibat antara fakta yang satu dengan fakta
lain. Sedang dalam science di samping diperlukan uraian yang sistematik, juga
dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan pengorganisasian
dan pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang
berlaku.
Ilmu pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan
prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum tentang suatu hal. Artinya
dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam penelitian-penelitian
terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan teori yang telah ada
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common sense tidak
memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari berbagai fakta yang
terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara pengumpulan data bersifat subjektif, karena common sense sarat
dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu
pengetahuan menjadikan konflik sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan
mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik sejumlah fakta untuk mempertegas
aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan logis dari proposisi yang satu
dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap,
sedang kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis.
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada pengujian melalui
observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat diperbaharui atau diganti.
Perbedaan
selanjutnya terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk memberikan
penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense biasanya mengandung
pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu pengetahuan merupakan
konsep-konsep yang tajam yang harus dapat diverifikasi secara empirik.
Perbedaan yang mendasar terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu
pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah metoda pengamatan,
eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial dan budaya juga menggunakan
metode pengamatan, wawancara, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Dalam
common sense cara mendapatkan pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca
indera.
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh
tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual atau
teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian secara
kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan
demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal. Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat
tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian secara
kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak
objektif serta tidak universal.
Sumber:
Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Kemanusiaan Dan Budaya Oleh
DR. A. M. HERU BASUKI MSI.